Selasa, 22 November 2011

SARSILAH SUSUNAN KARUHUN KUTA TANDINGAN


1.Eyank
Sanghyang
wenang
2.Eyank
sanghyang
wening
5.Syekh duro
6.Syekh rengkol
7.Syekh ora
8.Syekh darugem
9.Syekh gentong
10-Syekh adiarsa
11-Syekh lemah
ABang
12-Syekh syarif
Arifin
13-Syekh
hidayattullah
14-Syekh datul kapi
15-Ki kuwu sangkan
16-Syekh
maulana
hasanudin
17-Syekh
maulana
yusuf
18-Syekh
maulana
mansyur
19-Aki asnawi
caringin
labuan banten
20-Aki gundali
saketi banten
21-Rd.cengkrong
22-Rd.junah alias
jahiah
23-Rd.surya
padilaga
24-Rd.surya jaka
lalana
25-Nyi karsiti mulya sejadi
26-Syekh
maulana sahid
27-Syekh zafar
sidik
28-Syekh R.d
umar said
29-Syekh
makdum
ibrahim
30-Syekh mayih
maunat
31-Syekh
maulana
magribi
32-Syekh ainun
japin
33-Syekh R.d
rahmah
34-sunan gunung
jati cirebon

kuta tandingan

KARAWANG, STN. Sebut saja ia bernama Asman. Usianya sudah melebihi setengah abad. Namun badannya tampak kokoh, khas petani yang gemar bekerja keras di ladang dan sawah. Rumahnya berada di Kampung Palasari yang berbatasan dengan kawasan hutan Kutatandingan. Secara administrasi, kampungnya masuk dalam wilayah Desa Kutalanggeng Kec. Tegalwaru Kab. Karawang. Ia mengaku kurang gembira setiap panen padi tiba. “Saya dan beberapa orang petani lainnya sering dipunguti pajak,” akunya kesal.

Asman dan lima orang petani lainnya, sebut saja bernama Edi, Adung, Kemud, Juli dan Anip, adalah para penggarap ladang di kawasan Perhutani yang hingga hari ini masih bertahan.

Semuanya berawal dari tahun 2004. Ketika itu, Perhutani Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan [BKPH] Pangkalan selesai melakukan kegiatan pemanenan kayu akasia di petak yang dikenal oleh masyarakat sebagai Cikadut. Pihak Perhutani memperkenankan masyarakat untuk membersihkan tunggak-tunggak kayu dan mengusahai lahan tersebut untuk berladang. Namun, ‘izin’ tersebut dibarengi dengan pungutan sebesar Rp. 10.000,- per orang sebagai biaya ‘pendaftaran’.

Asman dan kawan-kawannya serta puluhan petani miskin tak bertanah lainnya terpaksa menerima syarat tersebut. “Kami tidak berani membantah, Pak,” kenangnya.

Rupanya bukan hanya biaya pendaftaran saja yang dipungut. Ketika memasuki musim panen padi ladang para penggarap kembali dimintai pungutan. Kali ini upeti yang mesti diserahkan ditetapkan sebesar jumlah bibit yang ditanam pada areal garapan tiap petani. “Kalau seorang petani penggarap memerlukan 2 kuintal bibit padi maka sebesar 2 kuintal gabah wajib diserahkan di saat musim panen,” jelas Asman.

“Di Cikadut kami hanya bertahan dua tahun. Karena tanah sudah kurang subur setelah empat musim tanam padi ladang. Tahun 2006 kami pindah ke blok hutan Cijambe,” lanjutnya. Di blok tersebut Perhutani baru saja selesai memanen kayu akasia. “Tapi biaya pendaftaran tetap membebani kami. Kali ini sebesar Rp. 50.000,- per orang. Lebih mahal, Untuk pungutan tiap musim panen padi mah tetep,” tuturnya sembari mengelus dada.

Jadi, siapa sebenarnya yang memungut itu? Asman hanya menyebut nama Sholeh dan Aseng. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata Aseng adalah salah seorang pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan [LMDH] Langgeng Sari Desa Kutalanggeng.

Menduduki Kutatandingan

Kutatandingan adalah sebutan yang diakrabi oleh masyarakat untuk menunjuk kawasan hutan produksi yang dikelola Perhutani. Pengelolaan tersebut dilakukan oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan [KPH] Purwakarta melalui BKPH Teluk Jambe dan BKPH Pangkalan. Kawasan seluas ± 7200 ha ini meliputi lima kecamatan yakni Ciampel, Teluk Jambe Barat, Teluk Jambe Timur, Pangkalan dan Tegalwaru.

Atan Nurmana Jaya [39], anggota Serikat Tani Nasional [STN], menuturkan bahwa Kutatandingan sejak 1997 relatif ditelantarkan oleh Perhutani. Lahan bekas tebangan tanaman jati yang diusahai pada masa masa lalu dibiarkan terbengkalai. Sementara di sisi lain, masyasrakat yang tinggal di sekitar Kutatandingan didera kemiskinan berkepanjangan akibat ketidak-cukupan lahan usaha pertanian.

Kang Atan, demikian ia biasa disapa, adalah golongan petani miskin sebagaimana layaknya penduduk lain di Kampung Palasari. Luasan sawah yang digarapnya hanya 1800 meter persegi. Itupun lahan waris milik orang tuanya. Demikian juga dengan para tetangganya. Sawah yang mereka miliki rata-rata tak kurang dari 0,2 Ha. “Makanya sejak 1999, saya dan petani miskin lainnya menggarap ladang di kawasan Kutatandingan,” jelasnya

Di tengah gelora reformasi 1998, Kutatandingan diduduki oleh petani yang miskin dan kaum tak bertanah. Mereka membersihkan areal yang terbengkalai dari sisa-sisa tunggak tanaman jati dan menanaminya dengan padi lading jenis lokal yang dikenal dengan nama kokosan, beragam palawija dan pisang-pisangan. “Kami tanami tanaman kayu seperti jeunjing/sengon/albazia, kayu kapuk, kayu nangka dan petani serta jengkol di areal miring agar tidak longsor,” tambah bapak satu anak ini.

Mereka yang duduk di Kutatandingan tidak hanya berasal dari desa-desa sekitar Kutatandingan. Kaum miskin tak bertanah dari berbagai pelosok di Kabupaten Karawang juga berdatangan dan turut mengusahai tanah tersebut. Bahkan ada juga yang berasal dari luar kota, termasuk mereka yang berketurunan suku Bugis dan orang Batak.

“Kemiskinan dan ketiadaan lahan di kampung asal mengharuskan kami seperti ini. Kalau Negara ini serius mengentaskan kemiskinan petani, jalankan landreform dan UUPA [Undang Undang Pokok Agraria -- red] dong!,” tandasnya.

Kini Kutatandingan telah dihuni ribuan keluarga. Di beberapa tempat telah berdiri perkampungan dan diakui keberadaanya oleh Pemerintah Kabupaten Karawang. Pengakuan tersebut ditunjukkan dengan terbitnya Kartu Tanda Penduduk [KTP] dan Kartu Keluarga [KK]. Sebut saja sebuah kampung bernama Cibulakan. Ia memiliki perangkat pemerintahan lokal dan diakui secara administrasi sebagai RT 14 Desa Parungmulya Kec. Ciampel.

Bukankah keadaan yang demikian berakibat pada tumpang-tindihnya kepentingan antara Pemkab Karawang dan Perhutani?

Tindakan Perhutani

Perhutani ternyata tidak tinggal diam atas pendudukan yang dilakukan oleh masyarakat. Menurut Drs. Rahmat selaku Kepala BKPH Teluk Jambe dalam forum dengar pendapat antara STN dengan Perhutani tahun 2005 mengatakan bahwa masyarakat akan diajak bekerja sama dalam pengelolaan hutan di Kutatandingan.

Sejak tahun 2006 pihak Perhutani mendirikan LMDH di beberapa desa sekitar Kutatandingan. Jajaran pengurus LMDH dipilih sepihak dari kalangan birokrasi desa dan petani kaya. Keikutsertaan petani penggarap kurang mendapat perhatian. Oleh karennya LMDH cenderung berpihak pada Perhutani.

“Sekiranya Negara RI patut dengan segera malaksanakan reforma agraria sejati di kawasan hutan. Kawasan-kawasan hutan produksi yang telah dikelola oleh petani penggarap patut segera dilepaskan status kawasannya, “ tegas Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat STN. Setelah itu, wilayah kelola tersebut harus diakui oleh negara RI sebagai alat produksi masyarakat untuk hak atas pangan. “Dan hal mendesak yang harus diberantas adalah tindakan pemungutan pajak secara sepihak kepada petani penggarap.”

Zyrex Waka Mini 963 Review - 8,9 "Tablet

Seperti yang dijanjikan, kita akan menjadi reguler lagi, dan mencoba yang terbaik untuk membawa setiap review pada gadget dan sisa favorit kami. Kali ini, kita melihat sebuah netbook tablet dari Zyrex, Nomor 1 PC Indonesia. Yang disebut Mini 963 Waka, menampilkan 8.9 "Touch Screen LCD, dan 180 derajat LCD diputar.

Waka Mini 963 datang dalam kombinasi Grey dan Putih warna.

Layar bagus, tetapi ketika berbicara tentang ukuran keyboard 8,9 "netbook, mereka keluar lebih kecil dari apa yang kita bisa berdiri. Tapi, hei, kecil, sehingga ada trade off. Hanya perlu membiasakan diri dengan ukuran dan posisi jari.

Mari kita lihat di sebelah kanan Waka Mini 963, ia memiliki Mikrofon dan Headphone jack, lubang ventilasi, port USB dan Ethernet Port.

Dan kita pindah ke belakang, ada jack Power.

Untuk sisi lain dari belakang, kami mendapatkan slot Kensington Lock.

Dan sekarang, kami pindah ke sisi kiri, yang memiliki port VGA, port USB lain, Slot Kartu Memori dan tombol slider Daya.

Di sampul Waka Mini 963, kita dapat melihat ada tiga LED bagi kita untuk mengidentifikasi status, seperti Power LED, Indikator baterai dan indikator Wireless.

Dan di dalam, pada panel kiri dari LCD, kita memiliki tiga LED lagi, dan sedikit tambahan seperti LED Caps Lock, Num Lock LED, dan Indikator Aktivitas Harddisk. Juga ada ini Tombol Home, yang saya pikir untuk akses internet cepat ke Halaman Utama.

Touchpad dan tombol klik yang cukup bagus. Tombol lunak dan mudah untuk menekan.

Speaker di bagian bawah panel LCD.

Webcam ini seperti biasa di tengah atas panel LCD. Dan yang diputar 180 derajat. Bagus bukan?

Jadi, bagaimana menyenangkan itu lebih? Layar sentuh LCD dapat diputar 180 derajat jam kontra bijaksana. Hal ini untuk menyesuaikan diri dengan modus penggunaan Anda, baik netbook normal, atau ke mode tablet ini.

Oke, ini adalah modus meja, ketika aku berpaling 180 derajat LCD off dan flip itu dari arah keyboard.

Dan memiliki sensor untuk menyesuaikan diri dengan posisi LCD Anda. Posisi vertikal, layar bergerak sesuai untuk itu. Dan beralih kembali ke horisontal, layar bergerak lagi. Jadi, pihak manapun dapat Anda gunakan.

Apa yang bisa tablet sensitif tanpa stylus. Jadi, Zyrex telah memberikan kita dengan stylus yang ditempatkan dalam menuju sisi netbook. Yang juga cukup besar untuk tangan kita, sehingga kenyamanan adalah nomor 1.

Bagaimana rasanya menggunakan stylus pada layar sentuh? Rasanya seperti saya menggunakan 8.9 "PDA.

Berikut ini adalah melihat lebih dekat pada inti 180 LCD diputar itu.

Ingin melihat bagaimana ukuran keyboard melawan jari ur? Lihat, benar sangat kecil? Masih dapat digunakan meskipun, hanya perlu membiasakan diri.

Hal lain, ada mikrofon internal pada sudut kiri depan Waka Mini 963.

Dan terakhir, di sini adalah ukuran referensi terhadap tanganku. Hanya untuk gambaran kasar tentang bagaimana besar itu.
Akhirnya, periksa spesifikasi lengkap di sini:

foto cools













BARANGKALI






TIBA TIBA KAU LONTARKAN KATA KATA BUSUK,SEPRTI RENTETAN BUTIR PELURU DARI SENAPAN MESIN..KAU LARUT DALAM KEMARAHANMU HINGGA KUSAKSIKAN SEPASANG TANDUK PERLAHAN LAHAN MULAI KELUAR DARI KEPALAMU,SETELAH ITU KAU PERGI DAN HARI INI KUSAKSIKAN KAU MEMBISU,KAU TAK BERKATA KATA HANYA DIAM DALAM WAJAHMU YANG MULAI MEMBIRU.
DAN TUBUHMU TERBUJUR KAKU,BARANGKALI BENAR AKU SALAH,BARANGKALI KAU YANG SALAH,BARANGKALI PULA KITA SAMA SAMA SALAH ATAU BARANGKALI KITA BERDUA BENAR,SEHINGGA DIAKHIR SEJARAH KITA NGOTOT KITA SAMA SAMA BENAR BARANGKALI MEMANG BEGITU,TAPI KENAPA SESUATU ITU TERASA LEBIH BERHARGA SETELAH SESUATU ITU PERGI

"NYALINDUNG"


"Betapa gigihnya para sesepuh Sunda zaman dahulu menggali apa yang terjadi dalam perjalanan panjang sejarah bangsa kita. Dan itu terungkap melalui pemahaman-pemahaman dalam pedoman hidup, sebuah warisan berharga sebagai pegangan dari pemimpin terendah hingga pemimpin tertinggi. Kita mulai dari pemimpin keluarga. Ada peribahasa gagade bari nyarande (1). Setiap orangtua, pasti senantiasa mendambakan anaknya maju, jauh melebihi kemajuan yang dicapai oleh orangtuanya.

Kata ayahnya -”Kilangbara atuh, bapa jadi patani, maneh mah kudu jadi pamingpin-” (2). Jawab anaknya,"Atuh, Pa. Piraku bapa ngongkosan abdi, ngaluarkeun ongkos langkung tina kabutuhan bapa" (3). Kata ayahnya,"Keun bae bapa mah gagade bari nyarande ge, asal hidep bisa leuwih ti bapa" (3). Itu adalah contoh kepemimpinan yang diperlihatkan oleh seorang ayah. Pemimpin yang berani berkorban untuk kemajuan anaknya. Pemimpin harus seperti itu, ia harus lebih mementingkan kesejahteraan dan kemajuan anak buahnya.

Jangan jadi pemimpin yang nyalindung ka gelung. Tergantung pada orang lain, tidak punya sikap. Coba kita guar (5) istilah haripeut ku teuteureuyeun. Itu kan gambaran keserakahan. Kalau jadi pemimpin jangan haripeut ku teuteureuyeun. Artinya, jangan serakah, jangan korupsi atau kolusi. Begitu kira-kira. Kemudian istilah kejot borosot. Anak-anak sekarang mungkin tidak mengenal ungkapan itu. Maksudnya; seorang pemimpin janganlah mengambil keputusan cepat atau tergesa-gesa.

Begitu banyak ungkapan-ungkapan yang sesungguhnya bukan sekadar ungkapan, istilah, atau peribahasa, sebab kalau dihayati ternyata memiliki makna yang dalam sebagai pedoman hidup. Dan kalau petuah para sesepuh itu dijalankan, dilaksanakan, akan terasa manfaat dan dampaknya, baik bagi pemimpin keluarga atau pemimpin yang lebih tinggi lagi. Saya kira sangat banyak ungkapan-ungkapan Sunda yang bisa dijadikan pedoman untuk dikonsepkan, sehingga Kepemimpinan Sunda tetap berpijak pada filsafat kasundaan".

[Diungkapkan oleh mantan Kapolda Jabar Irjen Pol. Drs. H. Edi Darnadi, yang sudah 32 tahun bertugas di berbagai provinsi di Indonesia, pada "Dialog Kompetensi Kepemimpinan Sunda".]

sumber kang adi j. mustafa

Asal Usul Orang Sunda

Mencari sejarah sunda dengan dua perahu
SUDAH sejak tahun 1950-an orang Sunda gelisah dengan sejarahnya. Lebih-lebih generasi sekarang, mereka selalu mempertanyakan, betulkah sejarah Sunda seperti yang diceritakan orang-orang tua mereka? Katanya, kekuasaannya membentang sejak Kali Cipamali di timur terus ke barat pada daerah yang disebut sekarang Jawa Barat dengan Prabu Siliwangi sebagai salah seorang rajanya yang bijaksana. Betulkah?Sejarah Sunda memang tidak banyak berbicara dalam percaturan sejarah nasional. "Yang diajarkan di sekolah, paling hanya tiga kalimat," kata Dr Edi Sukardi Ekadjati, peneliti, sejarawan dan Kepala Museum Asia Afrika di Bandung. Isinya singkat saja hanya mengungkap tentang Kerajaan Sunda dengan Raja Sri Baduga di daerah yang sekarang disebut Jawa Barat, lalu runtuh.

Padahal, kerajaan dengan corak animistis dan hinduistis ini sudah berdiri sejak abad ke-8 Masehi dan berakhir eksistensinya menjelang abad ke-16 Masehi. Kisah-kisahnya yang begitu panjang, lebih banyak diketahui melalui cerita lisan sehingga sulit ditelusuri jejak sejarahnya. Tetapi ini tidak berarti, nenek moyang orang Sunda di masa lalu tidak meninggalkan sesuatu yang bisa dilacak oleh anak cucunya karena kecakapan tulis-menulis di wilayah Sunda sudah diketahui sejak abad ke-5 Masehi. Ini bisa dibuktikandengan prasasti-prasasti di masa itu.

Memang peninggalan karya tulis berupa naskah di masa itu hingga kini belum dijumpai. Tetapi setelah itu ditemukan naskah kuno dalam bahasa dan huruf Sunda Kuno, yakninaskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian yang selesai disusun tahun 1518 M dannaskah Carita Bujangga Manik yang dibuat akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16. Suhamir, arsitek yang menaruh minat besar dalam sejarah Sunda menjuluki naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian sebagai "Ensiklopedi Sunda".

Naskah-naskah lainnya adalah Cariosan Prabu Siliwangi (abad ke-17 atau awal abad ke-18), Ratu Pakuan, Wawacan Sajarah Galuh, Babad Pakuan, Carita Waruga Guru, Babad Siliwangi dan lainnya.

****

NASKAH Sanghyang Siksa Kana Ng Karesian dan Carita Bujangga Manik disusun pada zaman Kerajaan Sunda-Pajajaran masih ada dan berkembang. Karena itu, dilihat dari kacamata sejarah, kedua naskah tersebut bisa jadi sumber primer. Sedangkan naskah-naskah lainnya yang disusun setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuhtermasuk sumber sekunder. Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh pada tahun 1579.

Kedua naskah tersebut ditulis dengan bahasa dan huruf Sunda Kuno. Sedangkan naskah lainnya ada yang ditulis dengan bahasa dan huruf Jawa, bahasa dan huruf Arab, bahasa Jawa-Sunda atau huruf Jawa tapi bahasanya bahasa Sunda seperti naskahCarita Waruga Guru dan bahasa Melayu dan huruf Latin. Sampai tahun 1980-an,pembuatan naskah Sunda masih terus berlangsung meskipun dalam bentukpenyalinan.

Naskah Siksa Kanda Ng Karesian dan Carita Bujangga Manik ditulis di atas daun lontar dan daun palem. Naskah-naskah lainnya ada pula yang ditulis di daun nipah, daun enau atau daun kelapa. Cara menulisnya dikerat/digores dengan menggunakan alatyang disebut peso pagot, sejenis pisau yang ujungnya runcing. Sedangkan naskah-naskah yang lebih muda menggunakan kertas sebagai pengganti daun dan ditulis dengan menggunakan tinta.

Sebagian naskah-naskah itu ada yang tersimpan di museum baik di dalam maupun di luar negeri. Tetapi sebagian besar lainnya disimpan di rumah penduduk atau tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan karena naskah dianggap sebagai barang sakral.Pemegangnya juga orang tertentu saja.

Karena cara penyimpanan yang tidak memenuhi syarat, adakalanya naskah rusak berat sehingga tidak bisa terbaca lagi. Naskah di Lengkong, Kuningan misalnya, tahun1982 masih bisa dibaca. "Tetapi ketika saya datang lagi ke sana pada tahun 1987,naskah sudah tidak bisa direkontruksi lagi," keluh Ekadjati.

Tetapi ada juga naskah-naskah yang sudah tidak disimpan dengan baik karena ahli warisnya merasa tidak mempunyai kepentingan lagi. Di Banjaran, sebuah daerah yang letaknya di Bandung Selatan, naskah yang mereka miliki disimpan di kandang ayam karena rumah sedang dibongkar. Atau ada pula yang menyimpannya di atas langit-langit dapur, sehingga warnanya menjadi kuning kehitam-hitaman.

Dengan cara penyimpanan seperti itu, apalagi berasal dari bahan-bahan yang mudah lapuk, dalam beberapa tahun saja tidak mustahil naskah-naskah tersebut tidak akan berbekas lagi, sebelum diteliti. Setelah terlambat, baru kemudian kita menyadari telahkehilangan sejarah atau kekayaan budaya...

Sebelum pengalaman pahit ini terjadi, Edi S Ekadjati dengan bantuan Toyota Foundation kemudian mengabadikannya dalam bentuk mikro film. Sekarang, sekitar 2000 naskah dari mikro film tersebut dimasukkan ke komputer sehingga suatu saat, bisa dibuat katalog yang lebih lengkap. Ini melengkapi katalog naskah Sunda yang sudah ada sekarang, yang memuat 1904 naskah.

****

DARI sejumlah naskah tersebut, 95 naskah ditulis dalam huruf Sunda Kuno, 438 ditulis dalam huruf Sunda-Jawa, 1.060 ditulis dengan huruf Arab (Pegon) dan 311 naskah lainnya ditulis dengan huruf Latin. Selain itu masih ada 144 naskah yang menggunakan dua macam aksara atau lebih, yakni Sunda-Jawa, Arab dan Latin.

Dilihat dari jenis karangannya, naskah sejarah hanyalah sekitar 9 persen dan naskah sastra sejarah 12 persen. Sebagian besar lainnya, 25 persen berupa naskah sastra, dan naskah agama 15 persen. Sayang, walaupun jumlahnya banyak, baru sedikit sekali yang diteliti. Eddi S. Ekadjati memperkirakan baru sekitar 100-125 judul saja yang diteliti. Ini berarti, tantangan untuk para peneliti dalam meneliti sejarah Sunda masih sangat besar.

Penelitian tersebut, menurut Edi S. Ekajati, idealnya dilakukan dulu secara filologis karena ilmu yang menggarap naskah itu ialah filologi. Baru kemudian hasil suntinganfilolog tersebut dijadikan obyek atau bahan studi ilmu-ilmu lain sesuai dengan jenis isi naskahnya. Sulitnya, sangat sedikit filolog yang tertarik terhadap naskah Sunda.

Belum lagi, lebih sedikit lagi yang bisa membaca huruf Sunda Kuno -- itupun sebagian diantaranya berasal dari disiplin lain. Atja dan Saleh Danasasmita misalnya, keduanya sudah meninggal. Sedangkan lainnya Ayatrohaedi dan Hasan Djafar (arkeologi) laluKalsum dan Undang A Darsa. Edi S Ekadjati sebenarnya berlatar belakang sejarah. Tetapi karena minatnya yang besar terhadap sejarah Sunda, akhirnya mengharuskan iamendalami filologi, sehingga dia acapkali dijuluki "berada di dua perahu". Dia mengakui, karena terbatasnya filolog yang berminat, maka jika seseorang ingin mengetahui sejarah Sunda maka ia harus berada "di dua perahu".

****

SEJARAH Sunda sangat boleh jadi berbeda dibanding sejarah etnis lain di Indonesia karena daerah ini tidak banyak mewariskan peninggalan berupa prasasti atau candi, tetapi lebih banyak berupa naskah yang kini tersimpan di museum atau tempat-tempat lainnya. Di Perpustakaan Nasional saja misalnya, terdapat 89 naskah Sunda Kunosedangkan yang sudah dikerjakan barulah tujuh naskah.

Tetapi dari sedikit naskah itu, menurut Edi S. Ekadjati, ternyata sudah memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap sejarah Sunda. Baik mengenai daftar raja yang memerintah dan masa pemerintahannya serta peristiwa-peristiwa sekitar yang terjadi pada saat itu, sehingga walaupun belum secara lengkap sudah bisa disusun raja-raja Sunda yang memerintah selama kurang lebih 800 tahun. Yakni, sejak Sanjaya yang memerintah pada abad ke-8 sampai Raja Sunda terakhir pada tahun 1579. Bahkan dengan naskah Siksa Kanda Ng Karesian yang ditulis pada masa Sri Baduga Maharaja, diketahui beberapa aspek kebudayaan Sunda saat itu. Sri Baduga Maharaja,dalam cerita rakyat diidentikkan dengan Prabu Siliwangi.

Jalan untuk menyingkap tabir sejarah Sunda masih panjang. Di Perpustakaan Nasionalsaja, masih 82 naskah lagi yang belum digarap. Walau demikian, Edi S Ekadjatioptimis, suatu saat sejarah Sunda bisa disusun lebih lengkap dan jelas. Salah satuharapannya diletakkan pada jerih payah Ali Sastramidjaja atau Abah Ali, seorang peminat sejarah Sunda, yang kini sedang menggarap naskah Ciburuy bersama teman-temannya. (Her Suganda)

Sumber :

Jumat, 18 Maret 2011

berinternetria pakai telkomsel flash

Banyak orang sengaja membuat tulisan yang memojokan telkomsel flash,karena berbagai alasan diantaranya akses yg sangat lambat dll,tp itu dulu lain lagi dgn sekarang coba anda buktikan dengan membeli paket kartu pedana flash unlimited............